Tampilkan postingan dengan label Autokorelasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Autokorelasi. Tampilkan semua postingan

Uji Autokorelasi SPSS dengan Statistik Q: Box-Pierce dan Ljung Box

Salah satu metode uji autokorelasi yang jarang dipergunakan adalah Box-Pierce dan Ljung Box. Metode ini sebenarnya powerfull untuk menguji gangguan autokorelasi sampai dengan derajad lag yang tinggi. Bandingkan dengan metode Durbin-Watson yang hanya lag derajad 1 saja. Untuk metode Lagrange Multiplier bisa menguji derajad lag yang banyak, tetapi metode Statistik Q ini lebih praktis. 

Langkahnya relatif praktis dan sederhana. Kita menggunakan data yang sama dengan data simulasi uji autokorelasi yang bisa Anda download di sini dengan Google Drive. Langkah pertama adalah mendapatkan nilai residual dari regresi yang ada. Cara mendapatkan nilai residual silahkan disimak di artikel ini. Setelah mendapatkan nilai residual, pilih Analyze, pilih Forecasting lalu klik pada Autocorreation seperti pada gambar di bawah:

Menu Statistik Q pada SPSS Versi 23
Maka kita akan masuk ke menu autokorelasi yaitu sebagai berikut:

Memasukkan Unstandardized Residual
Masukkan nilai Unstardized residual ke dalam box Variables. Untuk Options di kanan atas nilai default adalah 16 atau lag derajad 16. Kita dapat menggantinya dengan nilai yang kita inginkan. Dalam simulasi ini kita menggunakan 16 dan klik OK sehingga akan keluar output sebagai berikut:

Output Box-Ljung Statistic
Tampak pada output kolom paling kanan, bahwa semua lag mempunyai signifikansi di bawah 0,05 atau mengalami gangguan autokorelasi. Sebenarnya jika ada 3 saja, maka justifikasinya adalah ada gangguan autokorelasi. Banyak model yang lolos uji dengan Durbin-Watson tetapi tidak lolos dengan uji Box-Ljung karena menggunakan derajad lag yang lebih banyak.

Share:

Uji Autokorelasi SPSS dengan Lagrange Multiplier

Uji Lagrange Multiplier (LM) adalah uji autokorelasi dengan Breusch-Godrey yang mampu menguji adanya gangguan autokorelasi baik pada derajad satu atau pun lebih tinggi, misalnya dua, tiga atau yang lain. Meskipun demikian, uji ini disarankan untuk sampel yang banyak, misalnya di atas 100 agar memberikan hasil yang lebih akurat. Akan tetapi, dalam contoh ini, kami menggunakan data yang sama yang digunakan untuk simulasi uji autokorelasi dengan metode yang lain, yaitu Durbin-Watson. Jadi silahkan download simulasi data untuk artikel ini jika diperlukan.

Data terdiri dari satu variabel bebas saja dengan 75 data atau pengamatan. Lakukan regresi sederhana seperti biasa, hanya jangan lupa untuk menyimpang nilai Unstandardized residualnya. Caranya silahkan klik link yang ada. Setelah itu, kita membentuk variabel baru dari unstandardized yaitu nilai lagnya. Kita pilih Transform lalu klik pada Compute Variable seperti pada gambar di bawah ini:

Menu Transform Variabel

Maka kita akan masuk ke menu compute variable seperti gambar di bawah:

Menghitung Variabel Lag

Kita ingin membentuk variabel Lag dari residualanya, kita beri nama pada Target Variable dengan Res_2 yang dibentuk dari Lag(Res_1) seperti pada gambar di atas. Setelah klik OK maka akan muncul variabel baru pada layar SPSS yang merupakan lag derajad 1 dari residualnya. Kita lalu meregresikan model baru yaitu dengan variabel bebas Residualnya atau sebagai berikut:

Res_1 = b0 + b1 Page_views + b2 Res_2 

Setelah itu kita lihat output dari regresi di atas pada bagian T hitung

Output Uji Lagrange Multiplier dengan SPSS Versi 23

Tabel di atas menunjukkan bahwa Res_2 signifikan mempengaruhi Res_1 atau unstandardized residual. Ini menunjukkan bahwa terdapat gangguan autokorelasi pada model penelitian pada derajad 1. Ini konsisten dengan hasil pengujian dengan Durbin Watson. Hal yang penting dari uji Lagrange Multiplier (LM) ini adalah bisa untuk menguji derajad 2 atau lebih tinggi dengan cara menghitung Lag dari residual lalu meregresikan lagi seperti pada contoh di atas.

Metode yang lain, yaitu Metode Box-Pierce atau Uji Statistics Q sebenarnya bisa menguji sampai dengan derajad 16. Menu ini juga sudah tersedia pada SPSS.

Share:

Uji Autokorelasi dengan SPSS Versi 23 Menggunakan Metode Durbin-Watson

Uji autokorelasi adalah salah satu uji asumsi klasik yang dipergunakan untuk melihat apakah terjadi gangguan autokorelasi atau tidak. Autokorelasi, sesuai dengan namanya, auto dan korelasi adalah adanya korelasi antara satu data dengan data sebelumnya dalam satu variabel. Oleh karena itu jelas bahwa uji autokorelasi hanya dilakukan pada data time series atau runtut waktu. Jika dalam suatu model bukan merupakan data time series, maka tidak perlu dilakukan uji autokorelasi. (Data panel atau pooled data perlu diuji autokorelasi karena merupakan gabungan antara data time series dengan cross section).

Ada banyak metode untuk menguji ada atau tidaknya gangguan autokorelasi pada suatu model regresi. Kali ini kita akan membahas tentang metode dengan Durbin Watson yang menunya sudah tersedia di SPSS. Metode Durbin-Watson menggunakan persamaan sebagai berikut:

Persamaan Durbin-Watson

Untuk data simulasi bisa Anda download dengan akung G Mail Anda karena menggunakan Google Drive. Terdapat 75 data dalam File SPSS. Langkah pertama adalah pilih Analyze, lalu pilih Regression dan klik pada Linear seperti pada gambar di bawah ini:

Menu Regresi pada SPSS Versi 23
Maka kita akan masuk ke menu regresi sebagai berikut:

Memasukkan Variabel Penelitian
Masukkan variabel Alexa_Rank ke Dependent dan Page_views ke Independent(s). Lalu klik Statistic di kanan atas sehingga akan masuk ke sub menu sebagai berikut:

Menu Durbin Watson
Berikan tanda centang pada Durbin-Watson seperti pada gambar di atas, lalu klik Continue dan berikutnya klik OK. Maka akan keluar output sebagai berikut:

Output Durbin-Watson
Tampak bahwa nilai Durbin-Watson adalah sebesar 0,065. Untuk menentukan adanya gangguan autokorelasi atau tidak maka nilai tersebut perlu dibandingkan dengan nilai Tabel Durbin-Watson. Secara rinci telah ditampilkan di artikel berikut. Dalam kasus ini, karena menggunakan 75 data dan hanya 1 variabel bebas, maka nilai dL adalah 1,598 dan dU adalah sebesar 1,652. Berarti 0 < 0,065 < dL 1,598 atau terjadi autokorelasi positif. Dengan demikian kesimpulan dari model ini adalah mengalami gangguan autokorelasi positif.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam uji autokorelasi dengan Durbin-Watson adalah bahwa masih ada range di mana pengujian tidak bisa memberikan kesimpulan. Simak di gambar ini:

Tabel Pengambilan Keputusan Uji Autokorelasi dengan Durbin-Watson
Dalam contoh ini, merujuk pada baris paling atas. Akan tetapi, jika nilai hasil pengujian adalah 1,600 maka akan merujuk kepada baris kedua yaitu dL < d < dU atau tidak ada keputusan. Meskipun rentang tersebut kecil, namun bisa saja terjadi (juga di baris keempat pada tabel). Untuk itu ada yang membuat Durbin-Watson koreksi agar bisa memberikan justifikasi, atau bisa juga diperkuat dengan pengujian yang lain, misalnya Run Test.

Catatan lain yang dapat diberikan adalah bahwa uji Durbin-Watson hanya dapat mendeteksi autokorelasi pada derajad 1 saja, tetapi tidak bisa mendeteksi derajad lebih dari satu. Jadi jika ada gangguan autokorelasi pada derajad 2 atau bahkan lebih maka metode Durbin-Watson tidak dapat mendeteksinya. Metode yang dapat mendeteksi lebih dari derajad 1 adalah metode Lagrange Multiplier (LM).

Share:

Pengaruh Page Views Blog terhadap Ranking Alexa dengan Regresi Linear Sederhana

Kali ini kita akan menguji apakah terdapat pengaruh antara page views blog yang diambil dari data Google Analytic berpengaruh terhadap Ranking Alexa. Data yang dipergunakan adalah data blog ini sendiri yang dapat Anda unduh di Google Drive. Data yang dipergunakan adalah periode 20 Mei 2021 sampai dengan 2 Agustus 2021 atau sekitar 75 hari. Alat bantu yang dipergunakan adalah SPSS Versi 23. Uji asumsi klasik yang dipergunakan adalah uji autokorelasi, uji normalitas dan uji heteroskedastisitas. Uji multikolinearitas tidak digunakan karena hanya menggunakan satu variabel bebas saja atau regresi linear sederhana.

Hasil uji autokorelasi dengan Run test pada model penelitian memberikan hasil sebagai berikut:

Hasil uji autokorelasi dengan run test

Tampak jelas bahwa signifikansi adalah sebesar 0,000 < 0,05 yang berarti terdapat gangguan autokorelasi pada model penelitian. Ini wajar saja karena yang dipergunakan adalah data time series. Alternatif upaya perbaikan dilakukan dengan mencoba variabel Lag Alexa. Jadi page views hari ini mempengaruh rangkin alexa besok hari (karena lag 1). Tetapi hasilnya tetap terjadi gangguan autokorelasi. Maka dicoba dipergunakan transformasi difference delta, yaitu dengan mengurangkan data pada periode t dengan periode t-1. Dalam bahasa sederhana, kita bisa menyebutnya pengaruh perubahan page views terhadap perubahan ranking alexa. Adapun hasilnya adalah sebagai berikut:

Uji autokorelasi transformasi data

Gangguan autokorelasi telah hilang dengan signifikansi 0,64 > 0,05. Tampak bahwa jumlah data hanya 74 karena berkurang 1 akibat transformasi data. Untuk uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov adalah sebagai berikut:

Uji normalitas data transformasi

Asumsi normalitas telah terpenuhi dengan nilai signifikansi sebesar 0,081 > 0,05. Sedangkan untuk uji heteroskedastisitas dilakukan dengan mengkorelasikan variabel bebas dengan absolut residualnya dan diperoleh hasil sebagai berikut:

Uji heteroskedastisitas data transformasi

Tampak bahwa nilai signifikansi adalah sebesar 0,077 > 0,05 yang berarti tidak terdapat gangguan heteroskedastisitas pada model penelitian.

Setelah model dinyatakan terbebas dari gangguan asumsi klasik, maka dilihat apakah terdapat pengaruh atau tidak dengan hasil sebagai berikut:

Nilai R dan R Square

Nilai F hitung dan signifikansi

Nilai T hitung dan signifikansi

Dari output di atas, tampak jelas bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara page views terhadap rangking alexa. Hasil ini agak berbeda dengan asumsi awal bahwa page views berpengaruh terhadap rangkin alexa. Beberapa alasan yang membuat tidak ada pengaruh adalah sebagai berikut:

  1. Rangking alexa tidak ditentukan dari pageviews saja tetapi juga dari lama pengunjung berada dalam suatu situs. Variabel ini belum dimasukkan dan sepertinya agak sulit mencari data. Ada data di alexa, tetapi itu adalah data rata-rata secara harian bukan secara individu pengunjung.
  2. Data yang dipergunakan hanya 75 data dan hanya 1 blog ini saja. Jadi sangatlah kecil untuk mewakili fenomena yang ada di dunia internet secara keseluruhan.
  3. Meskipun data daily time on site secara keseluruhan, tetapi bisa dipergunakan sebagai sumber data sehingga di masa mendatang dapat menggunakan data daily time on site sebagai variabel bebas yang mempengaruhi rangking alexa.


Share:

Analisis Regresi Linear Sederhana antara Bounce Rate Alexa terhadap Pendapatan PopAds

Di artikel beberapa waktu yang lalu, kita telah membahas pengaruh dari Ranking Alexa (Alexa Rank) terhadap pendapatan iklan PopAds.net. Dengan analisis regresi linear sederhana, maka diperoleh bahwa tidak terdapat pengaruh signifikan ranking Alexa terhadap pendapatan PopAds. Rekomendasi dari artikel itu adalah untuk menambahkan variabel bounce rate. Bounce rate menurut Alexa adalah 'Percentage of visits to the site that consist of a single pageview'. Jadi jika ada pengunjung yang masuk ke blog, tetapi tidak melakukan klik lain, lalu keluar lagi dinyatakan sebagai bounce rate. Itu sangat logis, karena pendapatan iklan dari PopAds ditentukan dari klik pengunjung yang telah masuk ke blog kita. Jadi jika semakin tinggi bouce rate maka semakin rendah pendapatan PopAds.

Analisis ini akan menggunakan 39 data saja karena memang baru itu yang tersedia. Di lain waktu akan dicoba dengan data yang lebih banyak. Jika menginginkan silahkan download di G Drive dengan akun Gmail Anda. Alurnya sama dengan artikel yang sebelumnya, jadi kali ini akan lebih ringkas.


Uji Asumsi Klasik

Hasil uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov memberikan hasil sebagai berikut:

Uji Normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov

Dengan Signifikansi 0,118 > 0,05 maka dinyatakan bahwa model telah memenuhi asumsi normalitas. Sedangkan hasil Run Test adalah sebagai berikut:
Uji Autokorelasi dengan Run Test
Nilai Signifikansi adalah sebesar 0,997 > 0,05 yang berarti model tidak mengalami gangguan autokorelasi. Ini mungkin karena jumlah sampel yang di bawah 40 sehingga gangguan autokorelasi yang biasa muncul pada data time series tidak nampak di sini.

Uji Heteroskedastisitas dengan Scatter Plot memberikan hasil sebagai berikut:
Uji Heteroskedastisitas dengan Scatter Plot
Tampak bahwa tidak terdapat pola tertentu pada grafik yang dapat diinterpretasikan bahwa data tidak mengalami gangguan heteroskedastisitas.


Analisis Regresi Linear Sederhana

Adapun untuk hasil analisis regresi linear sederhana adalah sebagai berikut:
Nilai R dan Koefisien Determinasi
Nilai R adalah 0,394 dan koefisien determinasi sebesar 15,5% di mana masih banyak faktor lain yang mempengaruh pendapatan PopAds yaitu sebesar 84,5%. Untuk F hitung adalah sebagai berikut:
Output F Hitung dan Signifikansi
Tampak jelas bahwa nilai F Hitung adalah 6,811 dengan Signifikansi di bawah 0,05 yang berarti model dinyatakan layak. Untuk T Hitung memberikan hasil sebagai berikut:
Output T Hitung dan Signifikansi
Dengan Signifikansi 0,013 < 0,05 berarti Bounce rate berpengaruh signifikan terhadap pendapatan PopAds.


Interpretasi

Berdasarkan nilai T hitung yang negatif maka dapat ditentukan bahwa pengaruh bounce rate terhadap pendapatan PopAds adalah negatif atau berlawanan arah. Semakin tinggi bounce rate maka semakin rendah pendapapatan PopAds, sebaliknya semakin rendah bounce rate maka semakin tinggi pendapatan PopAds.

Ini sesuai dengan asumsi bahwa semakin banyak orang yang hanya melihat 1 halaman maka rendah pendapatan PopAds. Jika ingin meningkatkan pendapatan PopAds, dapat dilakukan dengan mengurangi bounce rate. Pemilik blog harus merancang agar pengunjung tidak langsung pergi ketika masuk ke website, tetapi melakukan klik lagi agar memancing keluarnya iklan PopAds.
Share:

Uji Autokorelasi pada Regresi Linear

Uji Autokorelasi adalah untuk melihat apakah pada suatu model regresi terdapat korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode sebelumnya atau periode t-1. Auto korelasi terjadi karena observasi yang berturutan sepanjang waktu yang berkaitan satu sama lainnya. Bahasa sederhana yang sering kami sampaikan adalah bahwa dalam model regresi kita ingin mencari pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat, jadi tidak boleh ada pengaruh antara variabel itu sendiri (auto). Ini bukan definisi hanya kalimat untuk menjelaskan secara sederhana saja.


Daftar Isi

  1. Pendahuluan
  2. Data Time Series
  3. Data Cross Sectional
  4. Data Panel
  5. Metode Uji Autokorelasi dengan SPSS
  6. Penutup


Pendahuluan

Sebagai ilustrasi kita, ingin menguji pengaruh antara variabel bebas Pendapatan keluarga terhadap pengeluaran keluarga itu sendiri. Kita bisa berasumsi sendiri, bahwa sebenarnya pengeluaran keluarga itu tergantung sendiri dari pengeluaran keluarga itu pada periode sebelumnya. Ketika bulan ini pengeluaran dianggap terlalu tinggi, maka pengeluaran bulan berikutnya cenderung turun. Ini hanya penjelasan sederhana. Anda bisa saja berargumen bahwa itu tidak akan terjadi bagi mereka yang berkategori 'Sultan". Ini hanya analogi saja untuk menjelaskan, dan sepertinya analogi tersebut bisa diterima sebagai penjelasan sederhana.

Dari pengertian di atas, maka uji autokorelasi hanya diterapkan pada data runtut waktu atau time series. Misalnya data inflasi bulanan, atau indek harga konsumen bulanan dan sejenisnya. Data yang tidak runtut waktu tidak perlu dilakukan uji autokorelasi. 


Data Time Series

Data Time Series (Runtut waktu/runtun waktu) adalah jenis data yang dikumpulkan menurut urutan waktu dalam suatu rentang waktu tertentu. Rentang waktu tersebut bisa harian, bulanan, tahunan dan lain-lain.

Contoh Data Time Series
Tabulasi data di atas adalah data time series. Tampak bahwa ada waktu yang muncul di situ. Data Inflasi pada bulan Juli 2016, Agustus 2016 dan seterusnya. Kita tidak dapat dengan sembarangan mengubah urutan data ke 2 kita pindah ke data urutan ke 3 karena kita juga akan membalik urutan bulan atau waktu yang ada. Itu hanya contoh saja. Masih banyak lagi data time series yang muncul dalam penelitian yang ada.


Data Cross Sectional
Data Cross Section/Data Silang adalah data yang menunjukkan pada suatu titik waktu tertentu. Contoh sederhana adalah data kuesioner tentang motivasi atau tentang kinerja atau tentang variabel tertentu. Ini adalah data yang diukur pada suatu saat saja. Memang dalam prakteknya pengukuran data bisa berselang beberapa hari atau bahkan beberapa minggu. Tetapi rentang waktu tersebut dianggap tidak mengubah variabel yang akan diukur. 
Contoh Data Cross Sectional
Tabulasi data di atas adalah tabulasi silang. Jumlah atau skor total dari kuesioner yang diberikan kepada responden. Kita bisa saja mengubah urutan nomor responden, misalnya nomor 15 kita pindah ke nomor 16 karena memang tidak urutan tertentu dalam tabulasi tersebut. Jenis data seperti ini tidak perlu dilakukan uji autokorelasi karena tidak ada urutan waktu dalam tabulasi tersebut.


Data Panel
Data Panel adalah gabungan antara data cross section dengan data time series, dimana unit cross section yang sama diukur pada waktu yang berbeda. Maka dengan kata lain, data panel merupakan data dari beberapa individu sama yang diamati dalam kurun waktu tertentu. Data tipe ini juga harus diuji autokorelasi karena masih ada faktor waktu dalam tabulasi data. Sebagai contoh, misalnya penelitian pengaruh hutang terhadap profitabilitas pada perusahaan di BEI pada periode 10 tahun terakhir. Sudah jelas bahwa ada periode waktu, sehingga kita juga harus melakukan uji autokorelasi. Lain halnya ketika kita melakukannya hanya pada 1 tahun periode saja (1 tahun satu data, bukan 12 data karena ada 12 bulan). Penting dicatat, bahwa jika kita melakukan penelitian hanya 1 tahun tetapi menggunakan data bulanan atau mingguan, maka tetap saja ada unsur waktu di situ.


Metode Uji Autokorelasi dengan SPSS
Ada berbagai macam uji autokorelasi dengan alat bantu berupa Software. Software yang tersedia juga berbagai macam, misalnya SPSS, Eviews, Shazam, STATA dan masih banyak lagi. Beberapa uji autokorelasi akan diuraikan singkat di bawah ini.

Uji dengan Grafik
Kita sangar familier uji grafik untuk uji heteroskedastisitas dengan scatter plot dan uji normalitas dengan histogram atau P Plot. Tetapi uji autokorelasi juga bisa menggunakan metode grafis. Tetapi metode ini jarang dipergunakan dengan alasan klasik, yaitu bahwa penggunakan metode grafis kadang menimbulkan perdebatan di antara para pemakai karena kadang ada unsur subjektivitas.  

Uji Durbin Watson
Metode Durbin Watson sangat sering dipergunakan terutama dalam aplikasi dengan SPSS karena sudah tersedia menu yang memudahkan. Contoh dan penggunaan uji autokorelasi dengan Durbin Watson telah kami bahas di artikel ini. Ada rumusnya lalu ada kriteria penerimaan dan penolakan hipotesis statistik (bukan hipotesis penelitian). Adapun nilai dU dan dL dapat dilihat di lampiran buku statistik. Cara membaca tabel Durbin Watson kita bahas lengkap di sini.



Run Test
Run test sebenarnya dikembangkan di statistik non parametrik pada uji satu sampel. Dirancang untuk melihat apakah ada keacakan atau randomness pada suatu distribusi data. Metode ini diadopsi untuk uji autokorelasi karena model yang baik adalah model di mana nilai unstandardized residual acak atau tidak ada pola tertentu. Simak Run Test untuk uji autokorelasi selengkapnya di sini.


Uji Lagrange Multiplier
Uji Lagrange Multiplier (LM) adalah uji autokorelasi dengan Breusch-Godrey yang mampu menguji adanya gangguan autokorelasi baik pada derajad satu atau pun lebih tinggi, misalnya dua, tiga atau yang lain. Meskipun demikian, uji ini disarankan untuk sampel yang banyak, misalnya di atas 100 agar memberikan hasil yang lebih akurat. Dengan kemampuan mendeteksi autokorelasi dengan derajad lebih dari 1, maka metode ini dapat menemukan gangguan autokorelasi yang tidak dideteksi oleh metode Durbin Watson atau pun run test. Artikel selengkapnya tentang uji autokorelasi dengan Lagrange Multiplier dapat disimak di sini


Uji Box-Pierce dan Ljung Box
Metode ini dapat mendeteksi gangguan autokorelasi dengan derajad yang tinggi dengan mudah. Menunya sudah tersedia di SPSS Versi 26 atau versi yang sebelumnya. Jika pada 16 derajad ditemukan adanya 3 gangguan autokorelasi, maka model dinyatakan mengalami gangguan autokorelasi. Simak uji autokorelasi dengan Box Pierce dan Ljung Box di sini


Penutup
Uji autokorelasi adalah uji yang harus dilakukan pada regresi linear dengan runtut waktu atau panel. Ini penting karena model bisa hasil yang dihasilkan bisa bias jika terjadi gangguan autokorelasi pada model penelitian. Untuk data kuesioner yang dilakukan secara serempak tidak perlu dilakukan uji autokorelasi karena memang tidak ada unsur waktu dalam tabulasi datanya.

Share:

Uji Regresi Pengaruh Ranking Alexa terhadap Pendapatan Google Adsense dengan SPSS

Pendahuluan

Banyak sekali alternatif untuk mendapatkan penghasilan dari sebuah blog atau website. Salah satunya adalah dengan menjadi publisher bagi Google Adsense (GA) salah satu advertiser yang sangat terkenal dan telah menjadi market leader dalam dunia ini. Pendaftarannya memang tidak terlalu rumit, meskipun tidak bisa dibilang mudah. Akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana potensi yang bisa diperoleh oleh si empunya blog. Dalam artikel sebelumnya, telah dibahas tentang pengaruh rangking alexa terhadap pendapatan PopAds, dan ternyata memberikan hasil bahwa tidak ada pengaruh ranking alexa terhadap pendapatan PopAds. Sudah ada pembahasan tentang hal itu.

Dalam artikel kali ini, kita akan membahas pengaruh ranking Alexa terhadap pendapatan GA dalam 91 hari, karena rangkin Alexa yang muncul dalam grafik adalah 3 bulan terakhir. Jika Anda menginginkan data aslinya silahkan download di sini. Gunakan akun Google Anda untuk bisa mengakses G Drive tersebut. 


Model Regresi

Model regresi adalah regresi linear sederhana karena hanya ada 1 variabel bebas, yaitu Ranking Alexa dan 1 buah variabel terikat, yaitu Pendapatan GA. Persamaan umumnya adalah 

Y = a + bX

Di mana Y adalah pendapatan GA dan X adalah Ranking Alexa. Alat analisis yang dipergunakan adalah Software SPSS Versi 23. Jika Anda ingin mendapatkan Download SPSS Free, silahkan meluncur ke situs resminya. Dalam persamaan umum di atas ada nilai residual yang ditambahkan di belakang persamaan.


Uji Asumsi Klasik

Analisis regresi linear, memerlukan beberapa asumsi yang harus dipenuhi, sering disebut dengan uji asumsi klasik. Uji asumsi klasik yang dipergunakan adalah uji normalitas, uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi. 

Uji Normalitas dengan Histogram

Hasil uji histogram menunjukkan bahwa data melenceng ke kanan dan sangat dimungkinkan ada outliers dan model tidak normal. Untuk memperkuat pengujian dilakukan uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov yang memberikan hasil sebagai berikut:
Uji Normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov
Nilai Signifikansi adalah 0,000 < 0,05 yang berarti model memang tidak memenuhi asumsi normalitas. Upaya perbaikan dilakukan dengan mentransformasikan variabel ke dalam bentuk logaritma natural, baik variabel X maupun variabel Y. Setelah ditransformasikan keduanya, maka uji normalitas KS memberikan hasil sebagai berikut:
Uji Normalitas Model Transformasi
Tampak bahwa model telah menjadi normal dengan melakukan transformasi ke dalam bentuk logaritma natural. Uji Autokorelasi dengan Run Test memberikan hasil sebagai berikut:
Uji Autokorelasi dengan Run Test
Tampak bahwa nilai Signifikansi adalah sebesar 0,247 > 0,05 yang berarti model tidak mengalami gangguan autokorelasi. Selanjutnya adalah uji Heteroskedastisitas dengan Scatter plot dan memberikan hasil sebagai berikut:
Uji Heteroskedastisitas dengan Scatter Plot
Tidak ada pola tertentu pada grafik yang berarti tidak ada gangguan heteroskedastisitas pada model regresi.

Analisis Regresi Linear Sederhana

Setelah model dinyatakan bebas dari gangguan asumsi klasik, maka dilakukan analisis regresi linear sederhana.

Nilai R dan Koefisien Determinasi Model

Nilai R adalah sebesar 0,451 dan R Square adalah sebesar 0,204. Berarti Ranking Alexa mampu menjelaskan variasi Pendapatan GA sebesar 20,4% dan sisanya yaitu sebesar 79,6% dijelaskan oleh faktor yang lain.
F hitung dan Signifikansi
Nilai F hitung cukup tinggi dengan signifikansi di bawah 0,05 yang menunjukan bahwa model telah fit dan bisa dilakukan uji hipotesis dengan uji t.
Uji t dan Signifikansi
Tampak bahwa nilai t hitung adalah sebesar -4,769 dengan signifikansi sebesar 0,000 < 0,05 yang berarti ranking Alexa berpengaruh signifikan terhadap pendapatan GA. Dari nilai t hitung yang negatif, berarti pengaruh tersebut adalah berkebalikan, di mana semakin rendah ranking Alexa maka semakin tinggi pendapatan GA. 

Interpretasi

Berdasarkan hasil analisis di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa ranking Alexa berpengaruh signifikan terhadap pendapatan GA. Semakin rendah ranking Alexa maka semakin tinggi pula pendapatan GA yang diperoleh, demikian sebaliknya. Hasil ini sesuai dengan fakta bahwa semakin banyak orang yang berkunjung ke suatu blog, maka semakin tinggi pula kemungkinan adanya klik pada iklan yang ditayangkan. Selain itu, dalam GA ada juga pendapatan yang bukan karena klik, tetapi karena tampil saja. 


Artikel Terkait

  1. Pengaruh ranking Alexa terhadap Pendapatan PopAds
  2. Berapa pendapatan blogger pemula?
  3. PopAds, alternatif iklan selain Google Adsense
  4. Ranking Alexa anjlok dratsis
  5. Lanjutan: Ranking Alexa anjlok drastis

Share:

Uji Autokorelasi SPSS Versi 23 dengan Run Test

Uji autokorelasi pada analisis regresi linear hanya dilakukan pada data time series atau runtut waktu. Jika bukan data time series maka tidak perlu dilakukan uji autokorelasi. Jika kita menyebarkan data kuesioner lalu kita lakukan analisis regresi linear, maka kita tidak perlu melakukan uji autokorelasi pada uji asumsi klasiknya. Kalau ada waktu luang, coba lakukan uji regresi pada model seperti itu. Lalu lakukanlah pengacakan data, misalnya data nomor 1 dipindah ke nomor 12. Lalu data ke 9 diubah ke nomor 23 dan seterusnya. Acak saja. Setelah itu lakukan lagi uji regresi lagi. Bandingkan nilai Durbin-Watson pada kedua model tersebut. Apa kesimpulan Anda?

Artikel ini akan menggunakan metode run test pada uji autokorelasi. Ini hanya simulasi saja, nanti kita bahas penggunaan Durbin-Watson dan metode lain pada artikel yang lain.

Tabulasi Data SPSS Versi 23 untuk Simulasi Uji Autokorelasi dengan Run Test

Di atas adalah contoh saja, mohon untuk tidak fokus kepada datanya, karena itu data fiktif sekedar contoh. Data di atas adalah time series karena ada urutan waktu bulan. Data bulanan Inflasi, Kurs, ICP dan IHSG. Untuk melakukan uji Run Test, lakukan regresi seperti biasa, lalu jangan lupa simpan nilai Residual Unstandardized. Setelah itu lakukan uji run test pada nilai Unstandardized tersebut dan hasilnya adalah sebagai berikut:

Output Run Test pada Uji Autokorelasi

Tampak bahwa nilai Signifikansi adalah sebesar 0,000 < 0,05 yang berarti terdapat gangguan autokorelasi pada model penelitian. Upaya perbaikan dilakukan dengan mentransformasikan data menjadi first difference delta. Pemahaman yang sederhana adalah awalnya mencari pengaruh data per bulan, lalu kita ubah menjadi mencari pengaruh data perubahan per bulan. Misalnya data bulan 1 adalah 10 dan bulan 2 adalah 15 maka yang kita gunakan adalah selisihanya yaitu 15 - 10 = 5. 

Transformasi dapat Anda lakukan secara manual dengan Excel atau bisa juga dengan SPSS dengan menggunakan Lag Variabel. Pilih Transform lalu klik pada Compute Variable seperti pada gambar di bawah:

Menu Compute Variable

Jika benar, maka akan diarahkan ke box dialog yang baru. Lalu masukkan Target variable, atau nama variabel baru yang akan kita buat berserta perintah perhitungannya.

Perhitungan Lag Variabel

Delta_inflasi adalah variabel yang akan kita buat. Variabel itu adalah selisih antara data bulan sekarang dengan bulan sebelumnya atau Inflasi - Lag(Inflasi). Setelah Klik OK maka akan keluar variabel baru sesuai dengan perintah perhitungan kita.

Variabel Baru yang merupakan Selisih antara Bulan Sekarang dengan Bulan Sebelumnya

Setelah itu kita regresikan lagi, simpan nilai Unstandardizednya lalu hitung dengan run test lagi. Hasilnya adalah sebagai berikut:

Hasil Uji Run Test Transformasi Data

Tampak bahwa nilai Signifikansi adalah sebesar 0,374 > 0,05 yang menunjukkan bahwa model tidak mengalami gangguan autokorelasi. Dengan demikian, transformasi data ini berhasil mengatasi masalah autokorelasi.

Share:

Cara Membaca Tabel Durbin Watson untuk Uji Autokorelasi pada Analisis Regresi Linear dengan SPSS

Durbin Watson adalah salah satu uji autokorelasi pada analisis regresi linear yang cukup populer. Metode Durbin Watson dilakukan dengan membandingkan nilai Durbin Watson hasil hitung dengan progam SPSS dengan Tabel Durbin Watson. Anda dapat memperoleh tabel Durbin Watson di buku statistik yang Anda punyai, atau bisa juga diperoleh secara online. 

Gambar Output Durbin Watson dengan SPSS
Gambar Output Durbin Watson dengan SPSS

Gambar di atas adalah output uji autokorelasi dengan 2 buah variabel bebas (ini hanya contoh saja). Pada Model Summary, kolom paling kanan, tampak nilai Durbin-Watson adalah sebesar 1,557. Nilai inilah yang akan kita bandingkan dengan nilai yang terdapat pada Tabel Durbin Watson seperti di bawah:

Tabel Durbin-Watson
Tabel Durbin-Watson

Contoh model regresi ini menggunakan 30 sampel dan 2 variabel bebas, jadi bisa dilihat di kolom paling kiri adalah jumlah sampel (30) dan jumlah variabel bebas (k) adalah 2 pada baris paling atas. Diperoleh nilai dL sebesar 1,2837 dan dU sebesar 1,5666. Adapun untuk keputusannya, bisa dilihat pada Tabel di bawah:


Tabel Pengambilan Keputusan Ada Tidaknya Autokorelasi
Tabel Pengambilan Keputusan Ada Tidaknya Autokorelasi

Nilai d adalah Durbin Watson hasil hitung, dalam contoh ini adalah sebesa 1,557. Jadi di antara lima kemungkinan di atas yang cocok adalah baris kedua yaitu dL < d < dU atau 1,2837 < 1,557 < 1,566 atau masuk pada kategori No Decision. Model yang dinyatakan tidak mengalami gangguan autokorelasi adalah jika memenuhi baris yang paling bawah.

Dalam hal ini, kita bisa menggunakan uji yang lain agar mendapatkan hasil yang lebih pasti, misalnya dengan Run test, Lagrange Multiplier, Box-Pierce dan Ljung Box atau uji yang lain.
Share:

Autokorelasi

Uji Autokorelasi merupakan salah satu uji asumsi klasik dalam analisis regresi linear berganda. Uji autokorelasi adalah untuk melihat apakah terjadi korelasi antara suatu periode t dengan periode sebelumnya (t -1). Secara sederhana adalah bahwa analisis regresi adalah untuk melihat pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat, jadi tidak boleh ada korelasi antara observasi dengan data observasi sebelumnya. Sebagai contoh adalah pengaruh antara tingkat inflasi bulanan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dollar. Data tingkat inflasi pada bulan tertentu, katakanlah bulan Februari, akan dipengaruhi oleh tingkat inflasi bulan Januari. Berarti terdapat gangguan autokorelasi pada model tersebut. Contoh lain, pengeluaran rutin dalam suatu rumah tangga. Ketika pada bulan Januari suatu keluarga mengeluarkan belanja bulanan yang relatif tinggi, maka tanpa ada pengaruh dari apapun, pengeluaran pada bulan Februari akan rendah.
Persamaan Durbin-Watson
Persamaan Durbin-Watson

Uji autokorelasi hanya dilakukan pada data time series (runtut waktu) dan tidak perlu dilakukan pada data pada kuesioner di mana pengukuran semua variabel dilakukan secara serempak pada saat yang bersamaan. Model regresi pada penelitian di Bursa Efek Indonesia di mana periodenya lebih dari satu tahun biasanya memerlukan uji autokorelasi.

Beberapa uji statistik yang sering dipergunakan adalah uji Durbin-Watson atau uji dengan Run Test dan jika data observasi di atas 100 data sebaiknya menggunakan uji Lagrange Multiplier. Beberapa cara untuk menanggulangi masalah autokorelasi adalah dengan mentransformasikan data atau bisa juga dengan mengubah model regresi ke dalam bentuk persamaan beda umum (generalized difference equation). Selain itu juga dapat dilakukan dengan memasukkan variabel lag dari variabel terikatnya menjadi salah satu variabel bebas, sehingga data observasi menjadi berkurang 1.
Share:

Penanggulangan Masalah Autokorelasi

Salah satu alternatif untuk mengatasi model regresi linear yang terkena gangguan autokorelasi adalah dengan memasukkan lag dari variabel terikat menjadi salah satu variabel bebasnya. Misalnya ada urutan data seperti ini:

Contoh Tahulasi Data dengan SPSS Versi 11
Contoh Tahulasi Data dengan SPSS Versi 11

Ini hanya contoh ya, disarankan untuk tidak menggunakan regresi linear dengan 16 data saja. Klik menu Analyze, sorot pada Regression, klik pada linear seperti ini:

Menu Regresi Linear dengan SPSS Versi 11
Menu Regresi Linear dengan SPSS Versi 11

Jika anda benar, maka akan diarahkan ke box regresi linear seperti ini:

Memasukkan Variabel
Memasukkan Variabel

Masukkan variabel Y ke kotak dependen, dan variabel X ke kotak Independen seperti gambar di atas. Untuk memunculkan menu autokorelasi dengan Durbin-Watson, klik menu Statistic di bagian bawah agak ke kiri. Dah ketemu??? Ya benar, di situ, di sebelah kiri menu Plots. Jika anda klik di menu Statistic, maka akan diarahkan ke box menu sebagai berikut:

Sub Menu Statistics pada Regresi Linear
Sub Menu Statistics pada Regresi Linear

Berikan tanda centang (tick mark) pada Durbin-Watson seperti pada contoh. Lalu tekan Continue di kanan atas, sehingga akan dikembalikan ke menu regresi, lalu tekan OK dan program akan mengeluarkan Outputnya seperti ini:

Output Durbin-Watson dengan SPSS Versi 11
Output Durbin-Watson dengan SPSS Versi 11

Jika anda benar, maka akan didapat nilai Durbin-Watson sebesar 0,287. Perhatikan tabel DW untuk satu buah variabel (k’) sebesar 1 dan jumlah data 16, maka nilai dL adalah 1,10 dan dU adalah 1,34. Silahkan baca cara membaca nilai Durbin-Watson di sini. Tampak bahwa 0 < DL yang menunjukkan terjadi gangguan autokorelasi. Kita coba memasukkan lag variabel dengan menggunakan menu Tranform, lalu pilih Compute

Menu Compute pada SPSS Versi 11
Menu Compute pada SPSS Versi 11

Maka anda akan diarahkan ke Box Compute. Lalu ketikkan Lag_Y pada target variabel. Artinya variabel lag nanti akan disimpan pada kolom dengan nama Lag_Y. lalu pada Function, di bagian kanan, cari menu LAG(Variable). Sorotkan mouse lalu tekan tanda panah ke atas di samping Function. Sehingga Numeric Expression akan keluar Lag(?). Tanda tanya itu anda ganti dengan Y, artinya variabel Y.
Menghitung Lag Variabel
Menghitung Lag Variabel

Lalu klik aja OK di bagian bawah. Sehingga tabulasi data pada SPSS akan menjadi seperti ini:

Menghitung Lag Variabel
Hasil Perhitungan Lag Variabel
Anda dapat melihat, bahwa lag variabel adalah menggeser ke bawah suatu variabel. Atau data nomor 1 menjadi data nomor 2 pada lag, data nomor 2 menjadi data nomor 3 pada lag dan seterusnya. Dan, ya anda benar, maka data nomor 1 pada lag akan kosong, sehingga data total akan berkurang satu. Setelah itu, lakukan penghitungan regresi lagi seperti di atas, dengan menambahkan variabel Lag y sebagai variabel bebas. Maka jika anda benar (mudah-mudahan benar) dan akan keluar output sebagai berikut:

Menghitung Lag Variabel
Output Durbin-Watson dengan Lag Variabel

Tampak pada gambar di atas bahwa nilai DW adalah sebesar 1,557. Nilai ini meningkat dari model sebelumnya tanpa Lag Variabel. Pada tahap interpretasi model, lag variabel tidak usah diinterpretasikan karena hanya merupakan metode untuk menghilangkan gangguan autokorelasi saja. Juga masih ada metode lain, misalnya dengan persamaan beda umum (first difference delta) yang akan dibahas lebih lanjut.

Bahan bacaan:
Muhammad Firdaus, 2004. Ekonometrika suatu Pendekatan Aplikatif. Jakarta: Bumi Aksara
Durbin, J., dan Watson, G.S., 1951. Testing for Serial Correlation in Least Square Regression. Biometrika, Vol. 38. Hlm. 159 – 177
Share:

Artikel Terbaru

Translate

Instagram

Instagram
Gabung Instagram Kami

Artikel Terbaru

Jual Data Laporan Keuangan Perusahaan yang Listing di BEI Tahun 2020

Setiap perusahaan yang telah go public wajib untuk menyerahkan laporan keuangan ke badan otoritas, sebagai salah satu bentuk pertanggungjawa...

Artikel Populer Seminggu Terakhir

Komentar Terbaru

`

Ingin menghubungi kami untuk kerja sama?

Nama

Email *

Pesan *